Balisore.com – Cuntaka merupakan konsep penting dalam kehidupan spiritual umat Hindu di Bali. Istilah ini merujuk pada keadaan kotor, baik secara jasmani maupun rohani, yang dialami oleh seseorang akibat peristiwa tertentu seperti kematian anggota keluarga, kelahiran anak, atau menstruasi. Dalam tradisi Hindu di Bali, kondisi cuntaka sering kali membatasi individu dalam berpartisipasi dalam ritual keagamaan, termasuk memasuki pura atau tempat suci lainnya. Namun, terdapat banyak pertanyaan mengenai sejauh mana pantangan ini berlaku, terutama dalam konteks pengucapan mantra dan sembahyang pribadi.
Pengertian dan Asal Usul Cuntaka
Cuntaka secara harfiah berarti “kotor” atau “tidak suci,” dan ini dapat merujuk pada kondisi fisik maupun spiritual seseorang. Keadaan ini biasanya terjadi setelah peristiwa yang dianggap mengganggu kesucian diri, seperti menstruasi pada wanita atau kematian anggota keluarga. Di Bali, kepercayaan akan cuntaka sangat erat kaitannya dengan adat dan tradisi lokal, yang berakar kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di pulau ini.
Menurut Sira Mpu Dharma Agni Yoga Sogata, seorang tokoh spiritual Hindu, cuntaka lebih banyak didasarkan pada kepercayaan tradisional Bali daripada ajaran-ajaran suci dalam Catur Weda. Catur Weda sendiri adalah kitab suci utama dalam agama Hindu yang menjadi landasan bagi berbagai ritual dan aturan keagamaan. Namun, dalam Catur Weda, tidak ada pantangan yang secara eksplisit melarang pengucapan mantra meskipun seseorang dalam keadaan cuntaka.
Pandangan Tradisional dan Kontemporer tentang Cuntaka