Sesampainya di sana, Putra Mahkota memasuki sebuah rumah yang nampak kosong. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik sedang menjerang air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik.”Mungkinkah ada bidadari di tempat asing begini ?” pikir putra Mahkota. Merasa ada yang mengawasi, Putri Tandampalik menoleh. Sang Putri tergagap,” rasanya dialah pemuda yang ada dalam mimpiku,” pikirnya. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik merasa pemuda yang kini berada di hadapannya adalah seorang pemuda yang halus tutur bahasanya. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun tetapi tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung menaruh hati.
Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Putra Mahkota kembali ke negerinya karena banyak kewajiban yang harus diselesaikan di Istana Bone. Sejak berpisah dengan Putri Tandampalik, ingatan sang Pangeran selalu tertuju pada wajah cantik itu. Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anre Guru Pakanyareng, Panglima Perang Kerajaan Bone yang ikut serta menemani Putra Mahkota berburu, mengetahui apa yang dirasakan oleh anak rajanya itu. Anre Guru Pakanyareng sering melihat Putra Mahkota duduk berlama-lama di tepi telaga. Maka Anre Guru Pakanyareng segera menghadap Raja Bone dan menceritakan semua kejadian yang mereka alami di pulau Wajo. “Hamba mengusulkan Paduka segera melamar Putri Tandampalik,” kata Anre Guru Pakanyareng. Raja Bone setuju dan segera mengirim utusan untuk meminang Putri Tandampalik.
Ketika utusan Raja Bone tiba di Pulau Wajo, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahandanya ketika ia diasingkan. Putri Tandampalik mengatakan bila keris itu diterima dengan baik oleh Datu Luwu berarti pinangan diterima. Putra Mahkota segera berangkat ke Kerajaan Luwu sendirian. Perjalanan berhari-hari dijalani oleh Putra Mahkota dengan penuh semangat. Setelah sampai di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.
Datu Luwu dan permaisuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu Luwu merasa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Maka ia pun menerima keris pusaka itu dengan tulus. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi pulau Wajo untuk bertemu dengan anaknya. Pertemuan Datu Luwu dan anak tunggal kesayangannya sangat mengharukan. Datu Luwu merasa bersalah telah mengasingkan anaknya. Tetapi sebaliknya, Putri Tandampalik bersyukur karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular yang dideritanya. Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Bone dan dilangsungkan di Pulau Wajo. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Beliau menjadi raja yang arif dan bijaksana. (*)