“Tolong-menolong membuat hidup penuh dengan kemudahan, menjadikan hidup penuh dengan kebajikan.”
TERSEBUTLAH sebuah desa yang terletak di wilayah Sumatera, tinggal seorang petani yang rajin bekerja meski lahan pertaniannya tidak begitu luas. Ia dengan gigih mengusahakan hidupnya dan mampu memenuhi kebutuhannya dengan hasil kerjanya yang penuh dedikasi. Meskipun telah mencapai usia yang layak untuk menikah, ia tetap memilih untuk hidup sendirian.
Suatu pagi yang cerah, petani tersebut pergi memancing di tepi sungai. Dalam hatinya, ia berharap agar hari itu ia bisa mendapatkan ikan yang besar. Dengan penuh kesabaran, ia melemparkan kailnya ke dalam air. Tidak lama kemudian, kailnya mulai bergoyang-goyang. Dengan cepat, petani tersebut menarik kailnya. Kegembiraan memenuhi hatinya ketika ia melihat ikan yang berhasil ditangkapnya, seekor ikan yang cukup besar.
Saat memperhatikan ikan tersebut, petani itu terpesona oleh keindahan sisik-sisiknya. Sisik-sisiknya berkilauan dengan warna kuning emas yang memancarkan nuansa merah yang memukau. Matanya yang bulat dan berkilat seperti permata menambah keajaiban dari ikan itu. Namun, ketika petani tersebut hendak memasak ikan tersebut, suara yang tak terduga terdengar dari mulut ikan tersebut, “Tunggu! Janganlah memakan aku! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak mengonsumsiku.