Balisore.com – Radius kesucian pura di Bali belakangan ini menjadi topik hangat di kalangan masyarakat, terutama terkait dengan keterbatasan lahan untuk pembangunan dan pola pembangunan yang semakin berkembang. Dalam konteks ini, penting untuk memahami konsep radius kesucian pura yang melibatkan kearifan lokal dan aturan-aturan adat yang harus diperhatikan untuk menjaga kesucian tempat-tempat suci.
Radius Kesucian Pura: Pentingnya Menjaga Kearifan Lokal
Di Bali, radius kesucian pura adalah sebuah konsep penting yang mengatur jarak dari pura untuk memastikan bahwa lingkungan sekitar tetap terjaga kesuciannya. Konsep ini mengacu pada pemahaman bahwa setiap pura memiliki wilayah tertentu di sekelilingnya yang harus dilindungi dari aktivitas pembangunan atau perubahan yang dapat mengganggu kesucian tempat suci tersebut.
Tokoh Hindu I Ketut Wiyana, saat diwawancarai beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa di Bali dikenal dua istilah utama terkait radius kesucian pura, yaitu Apeneleng Agung dan Apeneleng Alit. Apeneleng Agung mengatur radius kesucian pura hingga jarak 5 kilometer, sedangkan Apeneleng Alit mengatur radius hingga 2 kilometer. Konsep ini diterjemahkan melalui istilah Tri Wana, yang memiliki makna tiga jenis hutan di Bali.
Tri Wana: Tiga Jenis Hutan dalam Radius Kesucian Pura
Tri Wana, yang terdiri dari Maha Wana, Tapa Wana, dan Sri Wana, merupakan bagian dari sistem pengaturan radius kesucian pura di Bali. Masing-masing jenis hutan ini memiliki peran dan karakteristik yang berbeda, yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan mendukung kegiatan spiritual.
Maha Wana: Hutan Lindung yang Menjaga Kesucian
Maha Wana, atau hutan lindung yang dikenal dengan sebutan alas kekeran dalam bahasa Bali, adalah jenis hutan yang paling luas dalam radius kesucian pura, mencakup sekitar 30 persen dari total radius. Di kawasan Maha Wana, hanya diperkenankan untuk mengembangkan jenis-jenis tumbuhan pelindung pura, yang dikenal dengan istilah tanem tuwuh. Penanaman tumbuhan di kawasan ini memiliki manfaat besar, termasuk menyediakan oksigen, menyerap air, dan membersihkan udara.
Menurut Wiyana, pengembangan kawasan Maha Wana melibatkan pekerjaan yang berat namun mulia. “Menanam tumbuhan di Maha Wana adalah pekerjaan yang berat, namun sangat penting karena memberikan manfaat besar bagi semua makhluk hidup,” ujar Wiyana, yang juga pernah duduk di PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia).
Tapa Wana: Kawasan Penunjang dan Pendidikan
Kawasan Tapa Wana adalah wilayah kedua setelah Maha Wana, dengan luas mencapai 40 persen dari total radius kesucian pura. Di kawasan ini, pepohonan dengan daun rindang dan bunga yang memadai ditanam untuk menunjang keindahan dan kerindangan serta mempermudah umat dalam melakukan persembahyangan.