Balisore.com – Pura Bhujangga Waisnawa Gunung Sari, yang juga dikenal sebagai Mrajan Agung Bhujangga Waisnawa Gunung Sari, merupakan salah satu tempat suci yang memiliki sejarah dan keunikan tersendiri di Bali. Terletak di Desa Pakraman Gunung Sari, Desa Jatiluwih, Penebel, Tabanan, pura ini berada tidak jauh dari Pura Luhur Puncak Petali, hanya berjarak sekitar 200 meter. Keberadaan pura ini di lereng gunung menciptakan suasana yang tenang dengan udara sejuk, cocok untuk tempat meditasi dan penyembahan.
Sejarah dan Peran Ida Bagus Angker
Keberadaan Pura Bhujangga Waisnawa Gunung Sari tidak dapat dipisahkan dari peran penting Ida Bagus Angker, seorang tokoh spiritual yang sangat dihormati di kalangan Bhujangga Waisnawa di Bali. Ida Bagus Angker adalah putra dari Ida Rsi Waisnawa Mustika, yang merupakan keturunan dari Rsi Markandeya, seorang resi legendaris yang sangat dihormati di Bali. Diceritakan bahwa setelah wafatnya Ida Rsi Waisnawa Mustika, Ida Bagus Angker memutuskan untuk bertapa di Giri Kusuma, yang kemudian dikenal sebagai Gunung Sari karena keberhasilan tapanya.
Ida Bagus Angker dikenal sebagai sosok yang sangat cerdas dan berpengetahuan luas dalam berbagai bidang ilmu, termasuk wariga (ilmu perbintangan), usada (pengobatan tradisional), dan berbagai sastra agama. Kemampuan dan kebijaksanaannya ini membuat desa tempat tinggalnya disebut Jatiluwih, yang berarti “desa yang benar-benar indah dan bijaksana.” Setelah melalui proses dwijati, Ida Bagus Angker memperoleh gelar Ida Rsi Canggu. Dalam ajaran Bhujangga Waisnawa, beliau dikenal sebagai seorang cendikiawan yang mengikuti ajaran Siwa Waisnawa, sesuai dengan ajaran Rsi Markandeya.
Pembangunan Pura Bhujangga Waisnawa Gunung Sari
Pura Bhujangga Waisnawa Gunung Sari pada awalnya tidak berbentuk seperti pura besar yang ada sekarang. Menurut Guru Mangku Mertadana, 63, yang merupakan salah satu tokoh yang merawat pura ini, awalnya hanya terdapat palinggih sederhana yang berbentuk seperti padma di kawasan tersebut. Area ini dikelilingi oleh pagar batu, pohon Temen, bambu Sudhamala, dan Pergu. Seiring berjalannya waktu, para panglingsir (orang tua atau tetua adat) mulai memperluas area pura dengan alat-alat sederhana, meratakan tanah dan membangun palinggih dengan kayu yang dihaturkan oleh salah satu warga Bhujangga Waisnawa, almarhum Guru Nadra dari Buleleng.