Tarian Sakral Sang Hyang Jaran Pura Dalem Solo, Penolak Wabah dan Penjaga Keharmonisan Alam di Bali

oleh -43 Dilihat
oleh
Tarian Sang Hyang Jaran
Tarian Sang Hyang Jaran

Balisore.com – Bali, dengan kekayaan budaya dan tradisi yang mendalam, memiliki berbagai tarian sakral yang tidak hanya indah tetapi juga penuh makna spiritual. Salah satu tarian yang memiliki tempat khusus dalam tradisi Bali adalah Tarian Sang Hyang Jaran. Tarian ini tidak hanya berfungsi sebagai bentuk seni, tetapi juga sebagai ritual yang dipercaya memiliki kekuatan magis untuk menolak wabah penyakit dan menjaga keharmonisan lingkungan. Pada Rabu, 16 November 2016, tarian ini kembali dipentaskan di Pura Dalem Solo, Desa Sedang, Kecamatan Abiansemal, Badung, dalam rangka upacara Nangluk Merana.

Sejarah dan Makna Tarian Sang Hyang Jaran

Tarian Sang Hyang Jaran merupakan bagian dari ritual keagamaan yang bertujuan untuk menolak berbagai macam wabah yang bisa menyerang masyarakat dan lingkungan sekitar. Wabah ini bisa berupa penyakit yang menimpa manusia atau hama yang merusak tanaman. I Gusti Ngurah Ketut Sarga, salah satu tetua di Pura Dalem Solo, menjelaskan bahwa tarian ini biasanya dipentaskan pada sasih kelima (kalima), keenam (kaenam), hingga ketujuh (kapitu), yaitu periode yang dianggap riskan karena kondisi cuaca yang tidak menentu. Pada sasih kaenam, misalnya, curah hujan yang tinggi sering kali menyebabkan munculnya berbagai penyakit seperti demam, pilek, dan demam berdarah.

Di Bali, perubahan cuaca yang ekstrem sering kali dihubungkan dengan fenomena gaib. Oleh karena itu, masyarakat Bali yang sangat religius biasanya mengadakan upacara pacaruan untuk menenangkan alam dan menjaga keseimbangan kosmis. Tarian Sang Hyang Jaran menjadi bagian penting dari upacara tersebut, yang tidak hanya digelar pada waktu tertentu saja, tetapi juga harus bertepatan dengan hari suci seperti Kajeng Kliwon, Purnama, atau Tilem.

Ritual dan Proses Pelaksanaan Tarian

Sebelum tarian Sang Hyang Jaran dipentaskan, warga desa terlebih dahulu melakukan upacara macaru di tempat-tempat suci seperti merajan, rumah, lebuh, dan pura. Mereka kemudian membawa benang tridatu dan nunas tirta (air suci) dari pura. Air suci ini kemudian dipercikkan di rumah dan sawah setelah tarian selesai, sebagai simbol penyucian dan perlindungan dari segala marabahaya.

Baca Juga  Masjid Negara Ibu Kota Nusantara: Menara dan Kubah Berbentuk Sorban yang Memukau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.